BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya
disebut dengan “Peradilan Agama” telah ada di berbagai tempat di Nusantara,
jauh sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan menurut pakar Sejarah Peradilan,
Peradilan Agama telah ada sejak abad ke-16. Dalam sejarah yang dibukukan oleh
Departemen Agama yang berjudul “Seabad Peradilan Agama di Indonesia”, tanggal
19 Januari 1882 ditetapkan sebagai Hari Jadinya, yaitu berbarengan dengan
diundangkannya ordonantie stbl.1882-152, tentang Peradilan Agama di Pulau Jawa
– Madura.
Selama itu
hingga sekarang, Peradilan Agama berjalan, putusannya ditaati dan dilaksanakan
dengan sukarela, tetapi hingga diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, Peradilan Agama belum pernah
memiliki undang-undang tersendiri tentang susunan, kekuasaan dan acara,
melainkan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak
merupakan kesatuan, dan tidak pula seragam.
Kekuasaannya
kadangkala berbenturan dengan Peradilan Umum karena memang disengaja dibuat
tidak jelas oleh Pemerintah Jajahan, sebab Pemerintah Jajahan sejak semula
memang sangat khawatir terhadap hukum Islam lantaran hukum islam itu, disamping
bertentangan dengan agama mereka, juga merupakan hukum yang sebagaian besar
dianut oleh Bangsa Indonesia. Memberikan hak hidup kepada hukum Islam sama
artinya dengan memberikan peluang hidup terhadap hukum bangsa Indonesia.
Namun kini
Peradilan Agama telah mempunyai UU tersendiri, yaitu UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan
diundangkan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut
merupakan rangkaian dari undang-undang yang mengatur kedudukan dan kekuasaan
Peradilan di negara RI. Selain itu, UU tersebut melengkapi UU Mahkamag Agung
No. 14 Tahun 1985, UU Peadilan Umum No. 2 Tahun 1986 dan UU Peradilan Tata
Usaha Negara No. 5 Tahun 1986.
Memang agak terlambat lahirnya UU No. 7 tersebut dibandingkan dengan landasan lain bagi Peradilan Umum, PTUN dan lainnya. Namun demikian, dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kedudukan dan kekuasaan Pengadilan Agama setara dengan Lembaga Pengadilan lainnya.
Memang agak terlambat lahirnya UU No. 7 tersebut dibandingkan dengan landasan lain bagi Peradilan Umum, PTUN dan lainnya. Namun demikian, dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kedudukan dan kekuasaan Pengadilan Agama setara dengan Lembaga Pengadilan lainnya.
Yang patut
disayangkan, UU No. 7 tersebut mengandung beberapa kelemahan. Diantaranya,
terdapat hak opsi dalam penyelesaian perkara waris bagi orang-orang yang
beragama Islam di Pengadilan Agama atau di Pengadilan Negeri; Pengadilan Agama
tidak berwenang menangani sengketa hak milik dan sebagainya. Dengan adanya
desakan dan masukan dari praktisi hukum maupun masyarakat yang beragama Islam,
maka lahirlah UU No. 3 Tahun 2006 yang merevisi dan melengkapi UU No. 7 tentang
Peradilan Agama di Indonesia. Dengan adanya UU ini Peradilan Agama akan lebih
mantap dalam menjalankan fungsinya.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.2.1 Apakah asas-asas yang terdapat dalam Hukum Acara Peradilan Agama ?
1.2.2 Apakah sumber hukum Acara
Peradilan Agama ?
1.3 TUJUAN
PENULISAN
Setiap pembahasan pasti memiliki
tujuan tertentu karena dengan adanya tujuan yang jelas maka akan memberikan
arah yang jelas pula untuk mencapai tujuan tersebut. Adapun tujuan dari pembahasan
ini adalah :
1.3.1 Untuk mengetahui asas-asas yang
terdapat dalam hukum acara Peradilan agama di Indonesia
1.3.2
Untuk
mengetahui sumber hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN UMUM
PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN
AGAMA
Sebelum membahas perihal pengertian Hukum
Acara Peradilan Agama, akan dikemukanan terlebih dahulu tentang pengertian
Peradilan Agama dan Peradilan Islam. Peradilan Agama adalah sebutan
(titelateur) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan Peradilan Negara
atau Kekuasaan Kehakiman yang resmi dan sah di Indonesia. Tiga lingkungan
Peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan
Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Agama adalah salah satu diantara tiga
Peradilan Khusus di Indonesia. Dua Peradilan Khusus lainnya adalah Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan peradilan khusus karena
Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongn rakyat
tertentu. Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata
tertentu saja, tidak pidana dan pula tidak hanya untuk orang-orang Islam di
Indonesia, dalam perkara-perkara perdata Islam tertentu, tidak mencakup seluruh
perkara perdata Islam.
Peradilan
Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis-jenis perkara yang
ia boleh mengadilinya, seluruhnya adalah jenis perkara menurut agama Islam.
Peradilan Agama adalah Peradilan Islam limitatif yang telah disesuaikan
(dimutatis mutandiskan) dengan keadaan di Indonesia. Menurut pasal 2 UU No. 3
Tahun 2006 bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Kata
“Peradilan Islam” yang tanpa dirangkaian dengan kata-kata “di Indonesia”,
dimaksudkan adalah Peradilan Islam secara universal. Peradilan Islam itu
meliputi segala jenis perkara menurut ajaran Islam secara universal. Oleh
karena itu, dimana-mana asas peradilannya mempunyai prinsip-prinsip kesamaan
sebab hukum Islam itu tetap satu dan berlaku atau dapat diberlakukan di mana
pun, bukan hanya untuk suatu bangsa atau untuk suatu Negara tertentu saja.
Untuk menghindari kekeliruan pemahaman, apabila yang dimaksudkan adalah
“Peradilan Islam di Indonesia” maka cukup digunakan istilah “Peradilan Agama”.
Sebagaimana
diketahui bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata dan Peradilan Islam di
Indonesia, jadi ia harus mengindahkan peraturan perundang-undangan Negara dan
syariat Islam sekaligus. Oleh karena itu, rumusan Hukum Acara Peradilan Agama
adalah diusulkan sebagai berikut : “Segala peraturan baik yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan negara maupun dari syariat Islam yang mengatur
tentang bagaimana cara orang bertindak ke muka Pengadilan Agama tersebut
menyelesaikan perkaranya, untuk mewujudkan hukum material Islam yang menjadi
kekuasaan Peradilan Agama”.
Pengadilan
Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang
beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989
tentang PA “Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata
tertentu yang diatur dalam undang-undang ini ”. Dengan demikian keberadaan
Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam.
Setelah UU
No. 7 tahun 1989 diperbaharui dengan UU No.3 tahun 2006, maka rumusan tersebut
juga ikut berubah, hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan
wewenang pengadilan agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka
rumusan yang terdapat dalam pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 adalah “ Pengadilan
Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini ”.
Dalam definisi pengadilan agama tersebut kata “Perdata” dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk:
1. Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya
Dalam definisi pengadilan agama tersebut kata “Perdata” dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk:
1. Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya
2. Untuk memperkuat landasan hukum
Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan
Qonun
Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989
disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dalam bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibahyang
dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan
c. Wakaf dan shadaqoh
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 ASAS-ASAS DALAM HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama adalah meliputi
sebagai berikut :
A.1. Asas Umum Lembaga
Peradilan Agama
1)
Asas Bebas Merdeka
Kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan negarayang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara
hukumRepublik Indonesia.
Pada dasarnya azas kebebasan hakim
dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan
atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24
UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Dalam penjelasan Pasal 1 UU
Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan “Kekuasaan kehakiman yang medeka ini
mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur
tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau
rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal
yang diizinkan undang-undang.”
2)
Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Penyelenggara kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Semua peradilan di seluruh wilayah
Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan
undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila.
3) Asas
Ketuhanan
Peradilan
agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama
Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan
kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”
4)
Asas Fleksibelitas
Pemeriksaan perkara di lingkungan
peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak
diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal
4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk
itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha
menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.
Yang dimaksud sederhana adalah acara
yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada
formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila
terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya berbagai
penafsiran.
Cepat yang dimaksud adalah dalam
melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam menginventaris persoalan yang
diajukan dan mengidentifikasikan persolan tersebut untuk kemudian
mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam melalui
alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis
hakim, maka tidak ada cara lain kecuali majelis hakim harus secepatnya
mangambil putusan untuk dibacakan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum.
Biaya ringan yang dimaksud adalah
harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan
biaya-biaya lain di luar kepentingan para pihak dalam berperkara. Sebab
tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap apriori
terhadap keberadaan pengadilan.
5)
Asas Non Ekstra Yudisial
Segala campur tangan dalam urusan
peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam
hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang
dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.
6)
Asas Legalitas
Peradilan agama mengadili menurut
hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2),
pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo.
Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Pada asasnya Pengadilan Agama
mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang,
sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang
di muka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan.
Asas legalitas dapat dimaknai
sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hokum. Untuk
itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan
kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari tindakan
pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan
eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau
atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.
A.2. Asas Khusus Kewenangan Peradilan
Agama
1)
Asas Personalitas Ke-islaman
Yang tunduk dan yang dapat
ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya
beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006
Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2
Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang
menjadi kewenangan peradilan agama.
Ketentuan yang melekat pada UU No. 3
Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman adalah :
a) Para pihak yang
bersengketa harus sama-sama beragama Islam.
b) Perkara perdata
yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah.
c) Hubungan hukum
yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya
berdasarkan hukum Islam.
Khusus mengenai perkara perceraian,
yang digunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadila Agama
adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan. Sehingga apabila
seseorang melangsungkan perkawinan secara Islam, apabila terjadi sengketa
perkawinan, perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute peradilan agama,
walaupun salah satu pihak tidak beragam Islam lagi (murtad), baik dari pihak
suami atau isteri, tidak dapat menggugurkan asas personalitas ke-Islaman yang
melekat pada saat perkawinan tersebut dilangsungkan, artinya, setiap
penyelesaian sengketa perceraian ditentukan berdasar hubungan hukum pada saat
perkawinan berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada saat terjadinya
sengketa.
Letak asas personalitas ke-Islaman
berpatokan pada saat terjadinya hubungan hukum, artinya patokan menentukan
ke-Islaman seseorang didasarkan pada factor formil tanpa mempersoalkan kualitas
ke-Islaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada
dirinya sudah melekat asas personalitas ke-Islaman. Faktanya dapat ditemukan
dari KTP, sensus kependudukan dan surat keterangan lain. Sedangkan mengenai patokan
asas personalitas ke-Islaman berdasar saat terjadinya hubungan hukum,
ditentukan oleh dua syarat : Pertama, pada saat terjadinya hubungan
hukum, kedua pihak sama-sama beragama Islam, dan Kedua, hubungan hukum
yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh
karena itu cara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
2)
Asas Ishlah (Upaya perdamaian)
Upaya perdamaian diatur dalam Pasal
39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1
dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang
Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Islam menyuruh untuk menyelesaikan
setiapperselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi
para hakim peradilan agama untuk menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab
bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan
itu berupa perdamaian.
3)
Asas Terbuka Untuk Umum
Asas terbuka untuk umum diatur dalam
pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006
Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004.
Sidang pemeriksaan perkara di
Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan
lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara
siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan
dilakukan dengan siding tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan
Agama yang harus dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan
pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7
Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama).
4)
Asas Equality
Setiap orang yang berperkara dimuka
sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada
perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik dalam diskriminasi normative
maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang fundamental dalam upaya
menerapkan asas “equality” pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan
adalah :
a.
Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau
“equal before the law”.
b.
Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law”
c.
Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal justice under the
law”.
5)
Asas “Aktif” memberi bantuan
Terlepas dari perkembangan praktik
yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis,
hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang
berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang
tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
6)
Asas Upaya Hukum Banding
Terhadap putusan pengadilan tingkat
pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain.
7)
Asas Upaya Hukum Kasasi
Terhadap putusan pengadilan dalam
tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak
yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
8)
Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Terhadap putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan
tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan
kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
9)
Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi)
Segala putusan pengadilan selain
harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili.
3.2 SUMBER
HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
Peradilan
Agama adalah Peradilan Negara yang sah, disamping sebagai Peradilan Khusus,
yakni Peradilan Islam di Indonesia, yang diberi wewenang oleh peraturan
perundang-undangan Negara, untuk mewujudkan hukum material Islam dalam
batas-batas kekuasaannya.
Untuk
melaksanakan tugas pokoknya (menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan perkara) dan fungsinya (menegakkan hukum dan keadilan) maka
peradilan agama dahulunya mempergunakan Acara yang terserak-serak dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, bahkan juga Acara dalam hukum tidak
tertulis (maksudnya hukum formal Islam yang belum diwujudkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan Negara Indonesia). Namun kini, setelah terbitnya
UU No. 7 tahun 1989, yang berlaku sejak tanggal diundangkan (29 Desember 1989),
maka hukum Acara Peradilan Agama menjadi konkret. Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989
ini berbunyi sebagai berikut :
“Hukum Acara yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan agama adalah Hukum acara Perdata yang
berlaku dalam lingkunganPeradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus
dalam undang-undang ini”.
Menurut
pasal di atas, Hukum Acara Peradilan Agama sekarang bersumber (garis besarnya)
kepada dua aturan, yaitu : (1) yang terdapat dalam Uu No. 7 tahun 1989, dan (2)
yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum.
Peraturan
perundang-undangan yang menjadi inti Hukum Acara Perdata Peradilan Umum, antara
lain :
1.
HIR (Het
Herziene Inlandsche Reglement) atau disebut juga RIB (Reglemen Indonesia yang
di Baharui).
2.
RBg (Rechts
Reglemen Buitengewesten) atau disebut juga Reglemen untuk Daerah Seberang,
maksudnya untuk Luar Jawa-Madura.
3.
Rsv
(Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering) yang zaman jajahan Belanda dahulu
berlaku untuk Raad van Justitie.
4.
UU No. 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (sekarang UUNo. 2 Tahun 1998 tentang
Peradilan Umum).
Peraturan
perundang-undangan tentang Acara Perdata yang sama-sama berlaku bagi lingkungan
Peradilan Umum dan Peradilan agama adalah :
1.
UU No. 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiaman. (sekarang UU
initelah direvisi menjadi UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dan
direvisi kembali menjadi UU No. 48 Tahun 2009)
2.
UU No. 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
3.
UU No. 1
Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan dan Pelaksanaannya.
Jika demikian halnya maka Peradilan
agama dalam Hukum Acaranya minimal harus memperhatikan Uu No.7 Tahun 1989,
ditambah dengan 8 macam peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan
tadi.
Setelah UU No. 7 tahun 1989
diperbaharui dengan UU No.3 tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut
berubah, hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang
pengadilan agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang
terdapat dalam pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 adalah “ Pengadilan Agama adalah
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini ”.
Dalam definisi pengadilan agama
tersebut kata “Perdata” dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk:
1. Memberi dasar hukum kepada
Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas undang-undang perkawinan
dan peraturan pelaksanaannya.
2. Untuk memperkuat landasan hukum
Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan
Qonun
Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989
disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dalam bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibahyang
dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan
c. Wakaf dan shadaqoh
Masyarakat Indonesia yang mayoritas
beragama Islam menjadi salah satu faktor pendorong berkembangnya hukum Islam di
Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan muamalah. Lembaga-lembaga ekonomi
syari’ah tumbuh berkembang mulai dari lembaga perbankan syari’ah, asuransi
syari’ah, pasar modal syari’ah, dan pegadaian syari’ah. Perkembanagan ini
tentunya juga berdampak pada perkembangan sengketa atau konflik dalam
pelaksanaannya. Selama ini apabila terjadi konflik dalam bidang ekonomi
syari’ah harus melalui peradilan umum. Menyadari hal ini, maka dalam
Undang-Undang No. 3 tahun 2006 atas perubahan UU No. 7 tahun 1989 maka ruang
lingkup Peradilan Agama diperluas ruang lingkup tugas dan wewenang Pengadilan
Agama Yaitu :
Pertama
Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. Shadaqah
h. Infaq, dan
i. Ekonomi syari’ah
Dalam penjelasan pasal 49 disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah :
a. Bank syari’ah
a. Bank syari’ah
b. Asuransi syari’ah
c. Reasuransi syari’ah
d. Reksadana syari’ah
e. Obligasi syari’ah dan surat
berharga berjangka menengah syari’ah
f. Sekuritas syari’ah
g. Pembiayaan syari’ah
h. Pegadaian syari’ah
i. Dana pensiun lembaga keuangan
syari’ah
j. Bisnis syari’ah, dan
k. Lembaga keuangan mikro syari’ah
Kedua
Diberikan tugas dan wewenang penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya.
Dalam pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain daalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Demi terbentuknya pengadilan yang cepat dan efesien maka pasal 50 UU No.7 tahun 1989 diubah menjadi dua ayat yaitu : Ayat (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lainnya dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khususnya mengenai obyek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, ayat (2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49.
Diberikan tugas dan wewenang penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya.
Dalam pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain daalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Demi terbentuknya pengadilan yang cepat dan efesien maka pasal 50 UU No.7 tahun 1989 diubah menjadi dua ayat yaitu : Ayat (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lainnya dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khususnya mengenai obyek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, ayat (2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49.
Tujuan diberinya wewenang tersebut
kepada Pengadilan Agama adalah untuk menghindari upaya memperlambat atau
mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa hak milik
atau keperdataan lainnya tersebut yang sering dibuat oleh pihak yang merasa
dirugikan dengan adanya gugatan di Peradilan Agama.
Ketiga
Diberi tugas dan wewenang memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah. Selama ini Pengadilan Agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap orang yang telah melihat atau menyaksikan awal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadlan, awal bulan Syawal dan tahun baru Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk rukyat Hilal.
Hukum Acara Peradilan Agama bersifat
“Lex Specialis”
Dalam Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 dinyatakan,”Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”.
Berdasarkan bunyi pasal 54 tersebut
di atas, berlaku asas “Lex Specialis derogot Lex Generalis” yang berarti
disamping acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama
berlaku Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum, namun secara khusus berlaku Hukum Acara yang hanya dimiliki oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
BAB IV
PENUTUP
4.1 SIMPULAN
Adapun simpulan yang dapat
dirumuskan dari rumusan masalah dan pembahasan di atas adalah sebagai berikut :
1. Bahwa
asas dalam Hukum Acara Peradilan Agama dapat di bagi dua, yakni asas Umum
Lembaga Peradilan Agama dan Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama. Dimana
kedua asas tersebut terbagi lagi dalam beberapa asas.
2. Bahwa
sumber hukum acara peradilan agama saat ini adalah UU No. 3 Tahun 2006.
Meskipun saat ini telah berlaku UU No. 3 Tahun 2006 namun terhadap hal-hal yang
tidak mengalami perubahan dalam UU No. 3 Tahun 2006 tetap berlaku UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
4.2 SARAN-SARAN
Adapun saran-saran yang dapat
diberikan terhadap permasalahan dan pembahasan di atas adalah :
1. Diharapkan agar asas-asas dalam acara
Peradilan Agama dapat diterapkan secara factual agar tercipta suatu peradilan
yang benar-benar member keadilan bagi pihak-pihak di dalamnya.
2. Diharapkan agar segala sumber hukum dalam
Hukum Acara Peradilan Agama dapat dijadikan pedoman bagi berjalannya proses
beracara di Pengadilan Agama dan proses penyelesaian perkara yang diajukan di
Pengadilan Agama sehingga tidak ada lagi keluhan-keluhan tentang kesulitan
beracara di Pengadilan Agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar